Dalam era reformasi seperti saat ini, keinginan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang menjunjung nilai-nilai demokrasi semakin menguat. Demokrasi yang tentu saja mampu mengartikulasikan hak azasi manusia yang dirumuskan secara universal, yakni hak untuk memperoleh kebebasan dan kebahagiaan hidup. Oleh karenanya, seluruh rakyat, baik laki-laki dan perempuan tidak dibatasi peluangnya untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan bangsa. Namun faktanya, hingga saat ini perempuan masih diposisikan oleh masyarakat sebagai sosok yang lemah, kurang mandiri, lebih memainkan perasaan, dan kurang rasional. Benarkah?
Budaya patriarki yang sudah turun temurun membuat mitos yang luar biasa di tengah masyarakat. Perempuan dikondisikan sebagai mahluk kelas dua dan menempatkan laki-laki sebagai do the best. Interpretasi umum tentang perempuan dalam tinjauan dogmatis membawa implikasi terbatasnya ruang dan waktu bagi pemberdayaan perempuan. Situasi yang kompleks ini, mengharuskan para aktivis perempuan di seluruh Indonesia untuk mendorong peran politik perempuan dengan merumuskan kuota 30%. Gagasan ini cukup genius, sekalipun pro kontra terjadi.
Glitter Graphics - Topglittergraphics
Tidak ada komentar:
Posting Komentar